Rindu Hujan
Selasa, 14 Maret 2017
Akhirnya Aku Kalah Oleh Diriku Sendiri
Akhirnya aku kalah oleh diriku sendiri. Mimpi tentang kesendirian, kamar kos, kopi, rokok dan menulis dalam kesendirian runtuh secara perlahan dan akhirnya menghilang. Tuhan memberikanku petunjuk untuk aku pulang, pulang dalam arti yang sebenar-benarnya. Kembali ke rumah, kembali ke keluarga, kembali ke tempat aku bermula. Petunjuk itu diberikan lewat benjolan di kedua bagian leherku. Hingga aku memutuskan untuk memeriksakannya di rumah. Hasilnya, aku terkena TB Kelenjar Getah Bening, sebuah penyakit yang di sebabkan oleh virus yang menyerang kelenjar getah bening. Akhirnya aku harus berobat jalan selama enam bulan. Setiap dua minggu sekali harus control ke RS. Mungkin jika aku nekat, aku bisa saja menyuruh dokter untuk membuat surat rujukan untuk diriku berobat di perantauan tetapi aku mencoba untuk realistis, berobat di sini, dekat dengan keluarga adalah pilihan terbaik.
Lalu aku kemanakan impian itu? Entahlah, untuk saat ini aku anggap impian itu sudah tidak ada. Sebuah ketidak kemungkinan yang aku buang jauh-jauh. Tetapi jika setelah sembuh mimpi itu datang lagi dengan senyumnya yang menggoda, mungkin aku akan memperlakukannya lebih realistis. Tidak seperti kemarin yang terkesan grusah-grusuh dan persiapan kurang.
Saat ini, aku merasa menjadi anak kecil yang diurusi ibunya ketika sakit. Karena kurang pahaman terhadap penyakit yang aku derita, ayah dan ibuku mengekang aku di rumah. Tidak boleh kecapekan, tidak boleh merokok, tidak boleh keluar malam, dan lain-lain. Padahal dokter yang menanganiku saja tidak memberi larangan apapun, aku menanyainya “”Dok, ada larangan-larangan apa begitu?” Dia hanya menjawab “Tidak” dengan nada datar yang terdengar dari bali masker yang ia pakai. Ya, aku tahu perasaan seorang ayah dan ibu memang begitu, orang tua mana yang tidak shock ketika anak yang tiga bulan tidak pulang dan ketika pulang membawa penyakit aneh. Aku maklumi saja mereka, mungkin satu dua minggu, siapa juga yang mau berdiam diri di rumah selama enam bulan?
“Semoga cepat sembuh, Ad”, “GWS, Ad”. banyak pesan yang masuk setelah beberapa kawan di rumah tau aku pulang dengan keadaan yang tidak baik. Aku balas pesan itu dengan ucapan terima kasih dan minta maaf karena belum bisa menemui mereka ketika aku pulang. Teman kampus, teman komunitas, teman main, biasanya ketika aku pulang aku bergeriliya untuk menemui mereka satu persatu.
Semoga enam bulan ini akan berjalan dengan cepat, atau ternya satu dua minggu saja benjolan ini akan segera hilang. Semoga saja.
Senin, 21 November 2016
Selamat Datang Pijakan Pertama ; Aku Kuat
Akhirnya, setelah berkelana lebih
dari dua bulan, Bandung, Bogor, Bekasi, Depok, aku dapat pekerjaan. Aku
mendapat pekerjaan di salah satu lembaga bimbingan belajar yang sedang
berkembang. Aku bekerja sebagai pengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Walau hanya mengajar seminggu tiga atau empat kali dan gajinya
bahkan untuk makan saja pas-pasan aku akan menjalaninya sebagai pijakan untuk
meraih mimpi seorang pecundang. Terima kasih untuk kawan yang bahkan sudah
lebih dari empat tahun tidak bertemu telah memberiku jalan untuk mendapatkan
pekerjaan ini.
Aku
bekerja di daerah Menteng, 15 menit ditempuh berjalan kaki dari Stasiun Cikini.
Aku mengajar kelas 10 sampai 12 dan mengajar hari Rabu, Sabtu dan Minggu.
Harusnya aku mengajar hari Rabu, Jumat dan Minggu, tetapi teman yang mengajar
Bahasa dan Sastra Indonesia satunya meminta menukar jadwal, tidak apa, toh aku
orang selo yang hari apapun bisa. Bahkan kalau perlu temanku itu tidak perlu
mengajar juga tidak apa, aku saja yang mengajar, biar gajiku jadi lebih. Tapi
aku tidak boleh rakus.
Karena
uang dari mengajar belum cukup untuk menyewa kos atau kontrakan aku memilih
berangkat dari tempat saudara, kadang dari Bogor tempat masku tinggal, kadang
dari Bekasi tempat saudara yang lain. Karena demikian maka aku sekarang menjadi
anak KRL Jabodetabek. Setiap Rabu, Sabtu dan Minggu aku menyusuri jalur KRL
yang mengagumkan sekaligus aku yakin akan menjemukan. Orang-orang berlarian
mengejar kereta seperti takut kalau harapan mereka akan direbut orang lain.
Pergantian kereta di stasiun transit yang begitu sibuk, dan suara oprator KRL
yang suaranya lelah bercampur pasrah. Semua itu mengagumkan tetapi aku yakin
sebentar lagi akan menjadi hal yang menjemukan bagiku.
“Tidak
apa, jalani saja, semua butuh proses.” Kata Bu Lek Sumi dan kata hatiku
sendiri. Ya, ini adalah pijakan pertama untuk pijakan-pijakan selanjutnya yang
aku yakin akan semakin ringan. Untuk menaklukan ratusan anak tangga menuju
puncak Gunung Midoriyama. Aku akan menjalaninya, ini jalan yang aku pilih. Enam
bulan aku harus menjadi anak Jakarta yang elu gue elu gue, padahal impianku
berda di Bandung yang aing sia aing sia. Tidak apa, setelah aku punya modal
pengalaman dan ekonomi aku akan kembali ke kota kembang itu. Tunggu aku.
Kadang,
ketika berjalan kaki melewati Jalan Cikini dari stasiun sampai kantor, saat
langkahku mulai menapaki depan TIM, aku merasa ada kerinduan yang menusuk.
Kerinduan akan seni, tentang keindahan yang ambigu, tentang diskusi tentang
hidup yang tak pernah selesai. Kadang, ketika aku pulang hingga larut malam,
aku merindukan kasih sayang, kasih sayang seorang wanita. Semua kecup mesra,
belaian manja, menamparku, menyadarkan aku pada kesepian yang aku jalani.
Kemanakah engkau gerangan cinta yang aku cari? Masihkan engkau hidup di suatu
tempat di dunia ini? Masihkah kau menanti hadirku yang kini sedang terlunta
dipermainkan mimpi?
“Kau
harus kuat, ini jalan yang kau pilih.” Perkataan sahabat lewat linimasa
meneguhkan niatku untuk berjalan cepat dan menyelesaikan semuanya. Aku akan
meraih impian itu. Aku akan menemukan apa yang aku cari, aku akan menyelesaikan
misi. Menjalani hidup sebagai pengajar, mencari pekerjaan lain sebagai yang
utama, menyewa kos, merokok dan ngopi sambil membaca dan menulis buku. Impian
yang indah.
Oh ya,
aku sekarang juga memiliki sumber semangat baru. Setiap kali aku mengajar,
ketika melihat murid-muridku tersenyum, aku mendapat semacam jawaban, hidup ini
akan menjadi sia-sia jika tidak dibagi. Aku akan mengajari mereka tentang
sastra dan seni, tidak peduli mereka akan suka atau HRD akan menegurku karena
melenceng dari materi sekolah. Aku akan membagi cintaku pada dunia sastra,
tentang keindahan yang ambigu, yang multitafsir dan penuh metafor. Selamat datang
pijakan baru. Aku kuat.
Kamis, 10 November 2016
Ketika Rokok dan Kopi Tidak Lagi Menjadi Kawan yang Romantis
Beberapa hari ini kopi tidak
memberikan efek menenangkan. Rokok juga terasa hambar di mulut. Pikiran seakan
mengacaukan seluruh indra yang aku punya. Indra pengdengaran, pendengaran, penglihatan,
indra mencecap, peraba hingga indra perasa di hati dan otak. Dunia seakan
sedang mengawasiku dengan matanya yang bengis. Semua manusia seakan
menertawaiku dengan nada menghina.
Pulanglah, itulah kata-kata yang
terngiang ketika aku mencoba memejamkan mata. Kau hanya menghabiskan waktumu
sia-sia selama dua bulan ini. Dipermainkan harapan palsu dan impian semu.
Kembalilah ke asalmu, di sana kau bisa tidur sepuas yang kau mau. Bisa makan
sekenyang yang kau inginkan, dan yang paling berharga, kau bisa berbicara
hingga mulutmu berbusa dengan kawan-kawan yang saat ini kau tinggalkan.
Pikiran-pikiran itu menghantuiku
setiap aku ingin memejamkan mata. Rokok yang terasa hambar bahkan hanya
membuatku ingin mutah. Aku bahkan takut untuk meminum kopi di tengah malam. Aku
takut malah semakin tidak bisa tidur dan pikiran-pikiran untuk menyerah itu,
semakin menghantuiku. Kadang aku ingin pergi ke luar kos, berjalan entah kemana
tanpa tujuan. Menikmati malam yang jahanam, mengarungi kesunyian yang tanpa seorang
pun tau. Tetapi seperti yang dikatan bule dalam sebuah acara talkshow di tivi swasta itu, orang
Indonesia terlalu takut untuk berjalan sendirian, mereka takut malam, takut
hantu, bahkan takut manusia lain.
Entah apa yang harus aku lakukan
sekarang? Aku bosan, aku penat, aku resah, aku gelisah. Pekerjaan, itu kunci
atas semua kegelisahanku. Tetapi seakan konstruksi sosial di negara ini
mengacuhkan lulusan sarjana sastra tanpa pengalaman berarti. Sudah banyak
lamaran yang aku masukan. Hingga aku sampai malas membuka e-mail yang isinya
permohonan untuk diterima kerja yang seakan malah menghina diriku sendiri. Aku
berpikir, apa ada yang salah dengan e-mailku? Atau ada yang salah dengan CV ku?
Atau ada yang salah dengan diriku? Atau ada yang sedang bermain dukun, menyantetku
agar aku tidak diterima kerja di perantauanku ini?
Yang aku rindukan adalah
kawan-kawan sastraku yang budiman. DI sini aku tidak punya kawan seperti mereka.
Tidak ada yang bisa memahami apa yang aku pikirkan. Tidak ada yang memahami
impian absurd yang aku damba-dambakan. Mungkin kawan-kawan yang aku kenal di
sini hanya berpikiran “ah, dia hanya manusia aneh yang memanfaatkan kawannya
untuk mendapatkan kerja, manusia naïf, munafik.” Mungkin. Aku juga tidak boleh
menyalahkan mereka sebenarnya, toh mereka baru saja aku kenal. Mana mungkin
mereka bisa memahami apa yang aku pikirkan atau rasakan.
Kembali, aku ingin pulang. Tapi
apakah pulang akan menyelesaikan persoalan ini? Mungkin memang di sana aku akan
mendapat kenyamanan. Tapi apakah aku akan bisa bertahan dengan kenyamanan itu?
Baik, mungkin aku akan dihina, bahwa aku orang gagal dalam perantauan. Tapi
bukan itu yang membuatku tidak ingin kembali pulang. Aku percaya aku bisa
mengatasi hinaan itu, toh itu hanya sementara. Tapi aku tegaskan sekali lagi
bukan itu yang membuatku takut untuk pulang. Aku takut dengan kenyamanan semu
itu. Kenyamanan yang hanya membuatku menjadi robot peradaban. Aku lahir, hidup,
kawin dan mati, aku tak mau itu semua, harus ada yang aku peroleh dari
kehidupan ini, harus ada yang aku pahami tentang hidup ini.
Sekali lagi, ketika rokok dan kopi tidak lagi menjadi
kawan yang romantis, lalu apa yang bisa membuatku tenang? Selain kesunyian.
Minggu, 11 September 2016
Tuhan, Izinkan Aku Ber-qurban Perasaan
Seperti
biasa, nikotin dan kafein membawaku ke sebuah kontemplasi ringan malam ini.
Alunan
takbir masih dikumandangkan anak-anak kecil lewat toa masjid di seberang jalan.
Diselani canda tawa khas anak-anak, aku terbawa ke sebuah desa kecil di salah satu
sudut kecamatan di Yogyakarta. Desa tempat aku lahir dan tumbuh hampir 24
tahun. Sekarang, aku berada berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari desa itu, aku
berada di Bandung. Aku mencoba mengikuti apa yang aku anggap prinsip hidup,
merantau adalah cara terbaik mencari jati diri, menurutku. Selalu, “setiap
mahluk hidup berhak atas kemerdekaan mereka sendiri” adalah kalimat yang aku
pegang dalam setiap langkah yang jejak di kota ini.
Besok
adalah hari raya Idul Adha, orang-orang di desaku pasti sedang menjalankan
acara takbiran malam ini, mungkin sampai jam 10 malam dan setelah itu gantian
para muda-muda akan saling bergantian mengumandangkan takbir di masjid. Tentu
saja diselani canda tawa, ada yang sambil merokok, ada yang sambil ngopi,
bahkan ada yang sambil tiduran, kadang sampai ada yang tertidur, aku terbawa ke
sana. Ragaku sedang di sini, merokok sambil ngopi, mendengarkan anak-anak
mengumandangkan takbir, tetapi yang terdengar adalah suara kawan-kawanku di
sana. Jiwaku terbang secepat cahaya, melihat mereka tertawa, terkantuk,
terlelah.
Acara
siangnya adalah menyembelih hewan qurban. Aku dengar di masjid sana bakal
menyembelih 4 ekor sapi dan 3 ekor kambing. Warga akan gotong royong mengurusi
daging, dan kawan-kawanku pasti memilih mengurusi air minum di belakang. Warga
di desaku akan berpesta esok hari. Aku di sini membayangkan hari esok, ke
masjid terdekat sendirian, melaksanakan sholat ied dan kembali ke kamar.
Merenungi jalan pikiranku sendiri, menikmati pilihan yang telah aku pilih. Aku
berpikir, jika orang lain akan berqurban sapi atau kambing, aku akan berdoa
kepada Tuhan, “Izinkan aku berqurban apa-apa yang telah aku tinggalkan”, semoga
Tuhan menerima ibadahku.
Maklum,
ini adalah hari raya pertamaku jauh dari tempat aku lahir, jauh dari keluarga
dan kawan-kawan. Mungkin terlihat sedikit berlebihan, pasti banyak orang yang
lebih galau dari pada aku. Mereka pasti ada yang berkali-kali melaksanakan hari
raya jauh dari apa-apa yang mereka tinggalkan. Tapi biarlah, biarlah aku
menikmati kontemplasi ringan malam ini. Izinkan aku menulis beberapa
paragraf melankolis karena kegalauanku
sendiri.
Semoga
apa-apa yang aku tinggalkan di sana selalu sehat dan bahagia. Semoga apa yang
aku lakukan ini adalah benar, dan semoga Tuhan selalu bersama manusia-manusia
yang memilih jalan hidupnya sendiri. Alam semesta, terima kasih malam ini kau
membawaku menikmati kerinduan yang aku ciptakan sendiri.
Jumat, 13 Mei 2016
Terjemahan lirik lagu Pillowtalk (Zain Malik) versi Rindu Hujan
Percakapan Ranjang
Mencengkram pada sebuah pijakan
Aku melihat rasa sakit, sekaligus kenikmatan
Tak ada tubuhmu, tak ada tubuhku, yang ada hanya tubuh kita, tubuh kita berdua
Aku ingin memelukmu erat, malam ini dan selamanya
Aku ingin bangun di sampingmu
Aku ingin memelukmu erat, malam ini dan selamanya
Aku ingin bangun di sampingmu
Akan ada air dari tempat lain
Tempat di mana air mata terasa
Tempat di mana kau kehilangan ketakutanmu
Yahh, lakukan dengan tenang
Tempat yang begitu murni, begitu kotor sekaligus suci
Menyatu di tempat tidur sepanjang hari, menyatu sepanjang hari, menyatu sepanjang hari
Aku cumbu kau dan mari bertempur
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Percakapan ranjang
Musuhku, sekutuku
Terpenjara
Kemudian bebas, itu sebuah cerita kejam
Aku melihat rasa sakit, sekaligus kenikmatan
Tak ada tubuhmu, tak ada tubuhku, yang ada hanya tubuh kita, tubuh kita berdua
Aku ingin memelukmu erat, malam ini dan selamanya
Aku ingin bangun di sampingmu
Aku ingin memelukmu erat, malam ini dan selamanya
Aku ingin bangun di sampingmu
Akan ada air dari tempat lain
Tempat di mana air mata terasa
Tempat di mana kau kehilangan ketakutanmu
Yahh, lakukan dengan tenang
Tempat yang begitu murni, begitu kotor sekaligus suci
Menyatu di tempat tidur sepanjang hari, menyatu sepanjang hari, menyatu sepanjang hari
Aku cumbu kau dan mari bertempur
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Surga, surga, surga, surga
zona perang, zona perang, zona perang, zona perang
Surga, surga, surga, surga
zona perang, zona perang, zona perang, zona perang
Akan ada air dari tempat lain
Tempat di mana air mata terasa
Tempat di mana kau kehilangan ketakutanmu
Yahh, lakukan dengan tenang
Tempat yang begitu murni, begitu kotor sekaligus suci
Menyatu di tempat tidur sepanjang hari, menyatu sepanjang hari, menyatu sepanjang hari
Aku cumbu kau dan mari bertempur
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Ini surga kita dan ini zona perang kita
Peluk aku keras dan lembut
Terjemahan lirik lagu All I Ask (Adele) versi Rindu Hujan
Semua Pertanyaanku
Akan aku tinggalkan hatiku di pintu
Aku tak akan berkata apa-apa
Kau tahu, mereka telah mengakatan semuanya sebelumnya
Jadi, kita tidak perlu berpura-pura lagi
Seperti kita tidak takut apa yang akan
terjadi selanjutnya
Atau takut tidak memiliki apa-apa lagi
Lihatlah, jangan salah paham
Aku tahu tidak ada hari esok bagi kita
Yang ingin aku tanyakan adalah
Jika ini adalah malam terakhirku
bersamamu
Tahan aku seperti aku lebih dari sekadar teman
Beri aku kenangan untuk aku kenang
Ambil tanganku, dan lakukan apa yang pecinta seharusnya lakukan
Ini penting sebagai hal terakhir
Mungkin aku tidak
pernah mencintai lagi?
Aku tidak perlu kejujuranmu
Sudah terlihat jelas di matamu
Dan aku percaya pada mataku, mereka berbicara untuk diriku
Tidak ada yang lebih tahu diriku selain dirimu
Dan karena kau satu-satunya yang terpenting bagiku
Katakan padaku, aku harus
lari pada siapa?
Lihatlah, jangan salah paham
Aku tahu tidak ada hari esok bagi kita
Yang ingin aku tanyakan adalah
Jika ini adalah malam terakhirku
bersamamu
Tahan aku seperti aku lebih dari sekedar teman
Beri aku kenangan untuk aku kenang
Ambil tanganku, dan lakukan apa yang pecinta seharusnya lakukan
Ini penting sebagai hal
berakhir
Mungkin aku tidak
pernah mencintai lagi?
Biarlah ini menjadi pelajaran cinta kita
Biarlah ini menjadi cara yang dapat kita ingat
Aku tidak ingin menjadi kejam
atau setan
Dan aku tidak sebuah meminta pengampunan
Yang ingin aku tanyakan adalah
Jika ini adalah malam terakhirku
bersamamu
Tahan aku seperti aku lebih dari sekedar teman
Beri aku kenangan untuk aku kenang
Ambil tanganku, dan lakukan apa yang pecinta seharusnya lakukan
Ini penting sebagai hal
berakhir
Mungkin aku tidak pernah mencintai lagi?
Senin, 19 Januari 2015
JOGJA, 27 DESEMBER
Fuad Cahyadiputra
Pagi
ini aku membuka mata, seperti biasa aku langsung menuju balkon kos-kosan. Aku
ingin mendapat udara segar pagi hari. Tapi saat membuka pintu menuju balkon,
sambil membuka mata, bukan udara segar yang kudapat, malah sebongkah benda
bulat yang bersisik. Yang lebih membuat tercengang lagi adalah benda itu
besarnya sampai menutupi jalan.Dan tingginya sampai aku—yang ada di lantai dua
kos-kosan—bisa menyentuhnya.Benda ini memanjang menyusuri jalan hingga aku tak
bisa melihat ujungnya. Benda ini mirip sisik ular, atau tubuh ular, tapi ular
apa yang besarnya sampai menutupi jalan kota ini?
Semakin
penasaran aku mencoba menyentuhnya, aku menyentuh benda itu, terasa sekali
kalau ini sisik ular, aku semakin yakin.Rasanya hangat, berarti dia masih
hidup, tapi tiba-tiba aku mulai merasa ada yang mengalir dalam tubuh ular itu,
seperti detak jantung.Semakin aku menghayati detak jantung itu, mengalir
seperti aliran sungai, bergelombang.Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang
ada di otakku; “Naiklah, naik dan berjalanlah sampai ke kepalaku!”
“Kau siapa?” tanyaku dalam
pikiran juga.
Tapi
dia tidak menjawab, akhirnya aku mematuhi perintah itu, aku naik di atas tubuh
ular yang memenuhi jalan itu dan berjalan menyusuri tubuhnya.Tapi di mana
kepalanya?Aku hanya mencoba mengikuti insting, aku hanya mencoba peduli.
Saat
aku mencoba menyusuri tubuh ular itu tiba-tiba dari sebuah rumah seseorang
meneriaki ku.
“Hei apa yang kau lakukan di
situ?Bahaya goblok!!!”
“Ada apa?”
“Kau tidak lihat tipi ya?Itu ular kutukan, ular itu telah
memenuhi jalanan Jogja.”
“Haa?Bagaimana bisa?”
“Mana aku tahu, sudah
turunlah, dari pada kau celaka nanti!”
“Aku hanya mencoba peduli!”
“Ahhh. ..terserah kau lah!!!”
Teriak orang itu sambil menutup pintu rumahnya.
“Dasar orang zaman sekarang,
mereka hanya bisa melihat berita di tipi
tapi tidak bisa berbuat apa-apa atau lebih tepatnya tidak mau berbuat apa-apa,
mending aku yang tidak punya tipi,” gerutuku
dalam hati.“Sudah tahu ada ular yang menutupi seluruh jalan daerahnya, tapi
mereka malah enak-enakan dirumah, tidak mau peduli, enak-enakan menonton tipi, lihat internet, ya ampun!!”
Sambil
melamun aku tetap menyusuri punggung ular ini, tapi tidak kutemukan juga
kepalanya.Apa benar ular ini telah menutupi seluruh jalanan Jogja? Kalau begitu
aku harus memutari Jogja hingga bisa menemukan kepalanya.“Hei ular sebenarnya
kepalamu dimana sih?” ular itu tetap tidak menjawab.
Tiba-tiba
suara helikopter mengagetkanku, hempasan baling-balingnya menyapu pohon-pohon
yang ada di sekitarku.Aku juga pasti terjatuh dari punggung ular ini kalau tidak
menunduk. Dan dari helikopter itu terdengar suara, sepertinya orang itu memakai
alat pengeras suara.
“Hei kau orang gondrong,
sedang apa kau di sana?” teriaknya, sepertinya dia sedang emosi.
“Aku mencari kepala ular ini.”
“Kau bodoh ya?Itu berbahaya,
cepat turun dan kembali ke rumahmu!”
“Tidak bisa, aku harus
menemukan kepala ular ini!”
“Woo lha gondrong ngeyel,
kenapa kau ingin menemukan kepala ular ini?”
“Ular ini yang menyuruhku
mencari kepalanya!” jawabku, sedang orang itu berhenti menjawab sejenak.
“Baiklah, tetap disitu!Aku
akan memberikanmu tali tangga.”
Tiba-tiba dari helikopter itu
jatuh tali tangga, tali itu hampir saja mengenai kepalaku.
“Naiklah!!!Akan ku antar kau ke
kepala ular ini!”
Tanpa
berpikir panjang aku langsung menaiki tali tangga itu, lagi pula aku juga sudah
lelah, hampir tiga jam aku berjalan di punggung ular itu. Sesampainya di dalam
helikopter aku melihat dua orang, yang satu pria berpakaian tentara, yang satu
seorang wanita muda berkacamata memakai blazer biru tua dan rok pendek seragam,
di pangkuannya bertumpuk kertas yang aku tak tahu apa.
“Siapa nama saudara?” tanya
sang pria dengan tegas.
“Emmhh…Saya Miko Pak, dari Kota Gede.”
“Oke saudara Miko, saya Ibnu,
saya Jenderal Angkatan Darat, dan ini saudari Ilmi, dia seorang ahli invertebrate, ilmuan ular lebih
gampangnya.”
“Saya Miko,” kataku sambil
berjabat tangan.
“Ilmi,” jawabnya singkat
dibarengi senyuman yang sungguh manis.
Belum
aku selesai bersalaman sambil menikmati wajah cantik wanita itu, sang Jenderal
segera memotong dengan suara setengah membentak.
“Baik saudara Miko, coba
ceritakan bagaimana ular itu bisa menyuruh kamu untuk mencari kepalanya?”
Akhirnya
aku menceritakan pengalamanku tadi pagi, yang membuatku harus berjalan di atas
punggung ular selama tiga jam.
“Baiklah saudara Miko, itu
tadi cerita yang tidak mutu, tetapi cocok dengan keadaan yang tidak mutu di
bawah kita, coba lihat ke bawah, sebuah keajaiban atau kutukan telah datang ke Jogja,
seekor ular raksasa memenuhi jalan kota Jogja, kami yakin ular itu datang dari
laut selatan, lihatlah ke arah selatan, ekor ular itu melilit jalan-jalan di
pantai Parangtritis, lalu ke utara melalui jalan Parangtritis hingga mencapai
kota, tapi yang membingungkan adalah, ular ini seperti bingung, badannya
berputar-putar hingga seluruh jalan di kota Jogja dan sekitarnya penuh oleh
badan ular itu.”
Benar,
sambil mendengarkan penjelasan dari jenderal itu aku mengamati keadaan dibawah
dari helikopter, jalan-jalan di Jogja penuh oleh badan ular itu, mulai dari
jalan Parangtritis, ring road, hingga
jalan-jalan kota, seperti Jalan
Tamansiswa, Jalan Mataram, Jalan Adisucipto, semua dipenuhi badan ular.
“Memang benar belum ada korban
jiwa, tetapi jika jalan di Jogja seperti ini, banyak orang dirugikan,
orang-orang tidak bisa kemana-mana, Jogja akan lumpuh!” sambung Ilmi yang dari
tadi memperhatikan di sebelah sang Jendral.
“Lalu dimana kepalanya?”
tanyaku sambil melihat mereka berdua.
“Di bawah kita sekarang,“
jawab ilmi sambil mukanya menunjukan arah bawah.
Seolah
tak percaya aku hanya bisa menelan ludah melihat pemandangan dibawah.Aku berada
tepat di atas Alun-Alun Utara Jogja, dan kepala ular itu tepat di antara pohon
beringin kembar yang ada di tengah Alun-Alun.Badannya membujur ke arah utara
memenuhi Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Malioboro.
“Kita turun Bung!” perintah
sang Jenderal kepada pilot.
“Siap Pak” jawab sang pilot
dengan tegas.
Helikopter
turun perlahan, aku mulai melihat kerumunan tentara bersenjata lengkap,
tenda-tenda hijau tua, aku juga melihat tank dan panser, semua mengelilingi
kepala ular itu, semua siaga satu, banyak juga wartawan yang mengambil video atau
foto.Tetapi tak ada penduduk sipil, entah karena mereka tak bisa kemari atau
mereka memang tidak peduli.
Kami
mulai turun dari helikopter, tanpa pikir panjang aku langsung disuruh jendral
itu untuk berbicara pada ular itu.
“Cepat segera selesaikan ini,
aku ingin liburan setelah ini selesai.”
“Tapi tak ada strategi atau
rencana dulu?” tanya Ilmi kebingungan.
“Kelamaan!Aku sudah bosan,
kalian terlalu banyak nonton film, segera bicara pada ular itu, suruh dia pergi
dan masalah selesai, kita bisa segera pulang liburan, ayolah, ini hari libur.”
Tanpa
pikir panjang juga akhirnya aku berjalan menuju kepala ular itu, ular itu mirip
ular piton, atau anaconda, kata Ilmi dari bentuk sisik dan kepala, ular itu
digolongkan kedalam keluarga ular piton.
Sambil
gemetaran aku menyentuh kepala ular itu, dekat, dekat sekali, hingga aku bisa
merasakan nafas ular itu, dia tertidur.
Tiba-tiba
suara itu datang lagi, suara yang ada di kepalaku.
“Kau telah sampai?”
“Kau ini apa? Atau ular apa?
Maksudku, kau dari mana dan apa maksudmu datang ke kota kami?
“Aku diundang oleh Jogja”
“Apa maksudmu diundang?’’
“Mundurlah, akan ku tunjukan
undangannya.”
Aku
mundur satu langkah, tiba-tiba ular itu membuka mata, matanya tajam seperti
akan memangsa apa yang dilihatnya.
Wartawan
yang dari tadi mengerumuniku berhamburan ketakutan, aku juga hampir lari
melihat mata itu, tapi aku kuatkan tekat untuk tetap ditempat.Tentara yang
sejak tadi berjaga dengan senjata segera mengarahkan senjatanya ke ular
itu.Jenderal yang sejak tadi melihat sambil minum kopi tersedak melihat mata
ular itu.Hampir saja dia memberi aba-aba untuk menyerang.
“Jangan serang!!!”
teriakku.Akhirnya jenderal tadi menyuruh pasukannya untuk meletakan senjata.
“Apa yang kau lakukan Nak?”
teriak jenderal itu dari depan tendanya.
“Dia tidak berbahaya, kalian
tenang dan lihat saja…”
Belum
berhenti aku bicara ular itu membuka mulutnya sangat lebar, mengejutkan, di
dalam mulut ular itu ada sebuah undangan yang bertuliskan:
“DATANGLAH KE JOGJA, PENUHILAH
JALAN-JALAN KAMI, NIKMATI KOTA KAMI”
Langganan:
Postingan (Atom)